Merdeka Tapi Masih Terus Berjuang

0
367

Oleh : Ridwan Kalauw

LARIKAN bendera yang tiada putus-putusnya berdiri berderet sepanjang jalan desa. Hal yang lumrah terlihat setiap menjelang tujuh belasan di setiap desa di Kabupaten Bolaang Mongondow.

Bendera yang tertancap berderet ada yang masih kelihatan baru, namun banyak juga yang telah lusuh. Namun, bukan baru dan lusuh yang dilihat, tapi kegembiraan yang dirasakan rakyat, itu yang utama.

Pagi itu, matahari baru beranjak dari peraduannya. Sinarnya yang cerah menembus disela-sela awan, membuyarkan embun pagi. Seorang petani tua, Heni Mokoginta namanya, beranjak dari duduknya.

Setelah menghabiskan segelas kopi yang diseduhnya sejak pagi buta. Diapun bergegas mengambil cangkul dan pergi keladangnya yang tak jauh dari pondok yang dibangunnya di pinggir kebun. Hampir tiap hari, kegiatan serupa terus berulang sejak puluhan tahun silam. Setiap hari dia banting tulang peras keringat untuk mencari nafkah. Bukan hanya untuk bertahan hidup melainkan berusaha untuk hidup lebih sejahtera.

Meski hanya mengolah lahan yang tidak begitu luas, kira-kira 1,5 hektar, tapi dia cukup puas. Tiga putrinya mampu disekolahkannya hanya dari hasil kebun. Bahkan, dua diantaranya bisa menyelesaikan kuliah mereka.

Saat minum kopi pagi itu, Pak Heni menceritakan betapa berat perjuangannya menyekolahkan anaknya. Tapi dia puas.

“Jika dulu kita berjuang melepaskan diri dari belenggu penjajahan, kini kita tidak hanya mempertahankan kemerdekaan, tapi juga berjuang mempertahankan hidup,” katanya memulai pembicaraan.

Pagi itu, dia bercerita tentang pengalaman hidup, tentang bagaimana dia bisa menjadi petani dan bukannya menjadi pegawai kantor pemerintah. Padahal dimasa remajanya berbondong-bondong orang mencari pekerjaan sebagai pegawai di pemerintahan.

Sambil berceritra, dia menawarkan secangkir kopi dan teman minum kopi, ubi rebus yang masih mengepulkan uap karena baru diangkat dari perapian. Meski telah bekerja keras, keadaan yang sama belum berubah untuk sang petani.

“Hidup ini merupakan ujian,” katanya lagi, sambil menyeruput sedikit kopi kedalam mulutnya.

Sesekali dia mengatur letak jaket kulit yang juga telah lusuh dimakan usia, seperti si pemakai jaket yang tidak kalah tuanya. Guratan kerasnya hidup terukir di wajah tuanya. Rambut putih digunting tipis menghiasi kepala yang telah banyak berpikir bagaimana menghidupi keluarga kecilnya.

Bekerja sebagai petani walau dengan hasil tidak seberapa karena memang kebun yang diolahnya tidak besar, tapi dirasakannya cukup. Diapun bercerita kendala yang dihadapi tidak hanya olehnya, tapi juga kawan-kawan petani disekiatar kebun miliknya. Apa yang dialami dan dirasakannya selama ini, mungkin sama dengan kawan sejawatnya. Akses jalan perkebunan itu menjadi kendala mereka.

Kebun yang letaknya diatas perbukitan dengan topografi yang cukup curam, menjadikan akses menuju lokasi perkebunan harus ditempuh dengan jalan kaki. Keadaan ini yang dirasakan mereka belum merdeka. Sehingga, untuk membawa hasil bumi, mereka harus memikul sendiri. Baru mendengar ceritanya, saya langsung terenyuh.

Saya tidak dapat membayangkan bagaimana sulitnya memikul berpuluh bahkan ratusan karung jagung, kentang dan bawang daun hasil panenan Pak Heni. Bukan hanya menurunkan hasil panen dari lokasi perkebunan yang sulitnya minta ampun, melainkan pula saat harus memikul karung-karung pupuk dan bibit dari jalan raya ke lokasi kebun.

Pak Heni juga bercerita bagaimana sulitnya mendapatkan pupuk. Ketika masuk musim tanam, eh..pupuk yang menghilang, ceritanya dengan gaya kocak.

“Sudah begitu,” katanya,”saat panen, eh..malah harga jual turun.” Harga jual komoditi pertanian di Kabupaten Bolaang Mongondow memang sangat fluktuatif. Kadang harga cukup tinggi, tapi tak jarang harga jatuh hingga air mata pun ikut jatuh. Tapi kalau harganya bagus, biar capek tidak terasa, katanya dengan senyuman di bibir tanda bahagia. Sedangkan hanya cerita saja, ada senyum yang merekah, apalagi jika benar-benar sebuah kenyataan.

Mendengar cerita Pak Heni, butuh kebijakan pemerintah yang pro rakyat. Kebijakan yang harus melihat kebutuhan rakyat paling urgen saat ini.

Jalan usaha tani (JUT) di Bolmong memang telah dimulai sejak beberapa tahun lalu. Sayangnya, belum semua wilayah perkebunan tersentuh dengan program yang sangat membantu petani ini. Akses jalan usaha tani harus lebih diperpanjang setiap tahunnya, sehingga wilayah-wilayah perkebunan dan pertanian semuanya dapat tersentuh.

Para petani, juga adalah warga negara yang ingin merasakan udara kemerdekaan. Merdeka dari kesulitan hidup, jauh dari rasa khawatir.

Menjelang siang, sekitar pukul 10.30 WITA, saat matahari mulai terik-teriknya, Pak Heni meninggalkan pekerjaannya untuk istirahat. Dia istirahat lebih awal, aku berpikir Pak Heni akan bekerja hingga pukul 12.00 WITA, ternyata dia harus masak untuk makan siangnya.

Sudah sepekan dia tinggal sendiri di kebunnya, tanpa ditemani seorangpun sanak saudara. Dia tinggal sendirian dipondok, karena Istrinya telah berpulang dua tahun silam, sementara ketiga putrinya semuanya sibuk dengan pekerjaan sebagai PNS dan tenaga honorer. Akupun, hanya kebetulan saja berada disitu karena ingin menikmati malam di kebun di puncak Desa Manembo, Kecamatan Passi Timur itu.

Saat beristirahat itu, pembicaraan kami yang sempat terhenti, disambung lagi. Cerita kami mulai merambah kesana kemari, tentang bagaimana pasang surut petani di wilayah perkebunan yang dikenal dengan Perkebunan Bobangko.

Sejak Bolmong bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 23 Maret 1960, itu artinya sudah 66 tahun. Kini, 75 tahun sudah Indonesia Merdeka, apa yang dirasakan petani di wilayah Perkebunan Bobangko sudah lebih baik dari era 20 atau 30 tahun silam.

Meski akses jalan menuju ke lokasi perkebunan belum ada, tapi akses jalan kabupaten sudah lebih baik dari puluhan tahun silam. Petani seperti Pak Heni dan petani-petani lainnya di Kabupaten Bolaang Mongondow bisa bernafas lega.

Pemerintah daerah kabupaten telah mengupayakan memasukkan investor khususnya yang mengolah hasil pertanian. Dengan masuknya investasi berupa industri pengolahan hasil pertanian akan memperbaiki harga komoditi pertanian secara luas.

Nantinya, hasil pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan tidak hanya menjadi bahan baku industri tapi juga memenuhi kebutuhan makanan karyawan pabrik yang jumlahnya diperkirakan mencapai 35.000 orang.

Hadirnya Kawasan Industri Mongondow (Kimong) diharapkan mampu memperbaiki nasib petani.

Dengan sistim plasma, mungkin akan lebih baik. Petani nanti akan diberikan bibit, pupuk dan pendampingan, sehingga kelangkaan pupuk yang sering terjadi disetiap musim tanam akan teratasi. Penjualan hasil panen pun tidak akan kewalahan lagi. Ada yang menampung. Perasaan gulanda ketika musim panen tiba, akan terkikis dengan kehadiran “Kimong” sebuah ide brilian dari seorang Bupati yang juga mantan anggota DPR RI dua periode, Dra.Hj.Yasti Soepredjo Mokoagow.

Diusia Kemerdekaan Indonesia yang semakin dewasa, kemerdekaan harus bisa dirasa, dinikmati. Kemerdekaan itu, tidak hanya lepas dari penjajahan tapi kemerdekaan sesungguhnya bisa mengatasi dan lepas dari kesulitan hidup. Bisa mencapai kehidupan yang sejahtera sebagaimana tujuan Indonesia merdeka yang tertuang dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Seyogianya, apa yang dialami hari ini masih lebih baik daripada dijajah.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.