Hearing terkait Retribusi Ruko di Pasar 23 Maret berlangsung Alot

Kotamobagu, Inatonreport.Com – DPRD Kotamobagu menggelar hearing bersama  Aliansi Pedagang Pemilik Ruko dan Pasar 23 Maret (APPRT-P23MAR), bertempat di ruang rapat Kantor DPRD Kotamobagu, Jalan Paloko Kinalang Kelurahan Kotobangun Kec Kotamobagu Timur Kota Kotamobagu, Senin (17/9/2018) pukul 11.00 WITA.

Hearing tersebut dihadiri Ketua BanLeg Komisi I DPRD Kota Kotamobagu Ishak Sugeha ST, Sekretaris Komisi III Herry Koloay, Anggota DPRD Meidy Makalalag, Anggota DPRD Djufri Limbalo, Kepala Disperindagkop Kotamobagu Herman Aray, Kapolsek Urban Kotamobagu Kompol Muslikan, serta perwakilan pedagang pemilik ruko dan toko.

Dalam hearing tersebut, APPRT-P23MAR memertanyakan masalah penetapan tarif retribusi, pelayanan Pasar 23 Maret, pembaruan kontrak dan rekomendasi perpanjangan penerbitan SHGB.

Sementara, Ishak Sugeha, mengatakan, terkait Perda No 7 tahun 2017 tentang retribusi pelayanan pasar, bahwa sebelum di sahkannya sebuah Perda, harus ada campur tangan pemerintah propinsi sehingga tidak semena-mena bisa terbit.

Lanjut Sugeha, penetapan tarif dalam Perda tersebut telah melalui proses pengkajian dari DPRD, Disperindagok UKM, dan sesuai dengan kondisi kemampuan pedagang.

“Perda dibuat dengan proses yang sangat panjang, sehingga setelah Perda di tetapkan, maka wajib bagi siapapun termasuk DPRD untuk mematuhi itu,” ujar Sugeha.

Kepala Diseprdagkop, Herman Aray, mengaku, telah mengundang seluruh pedagang pada pertemuan di Cempaka Putih tahun 2016 terkait retribusi. Sedangkan, terkait uji publik tarif/retribusi di Pasar Serasi, pihaknya telah melakukan survei sewa menyewa kios sebagai pembanding yang melibatkan ahli dari Unsrat dan Pemprov Sulut.

“Pihak pemerintah telah melakukan kajian sampai ke Mendagri, sehingga Perda tersebut keluar. Terkait retribusi Rp12.000/meter yang sesuai dengan Perda no 7 tahun 2017, kami rasa sudah sesuai dengan pengkajian yg dilakukan,” ungkap Aray.

Aray menambahkan, pemerintah juga memunyai perjanjian dengan pemilik ruko bahwa jangka waktu kepemilikan ruko sesuai perjanjian adalah 20 tahun. Setelah habis masanya maka itu menjadi milik pemerintah.

“Pemerintah memberikan keluasan kepada para pemilik ruko dan toko untuk melakukan perpanjangan dengan mengajukan permohonan secara kolektif catatan retribusi harus di bayar. Pemerintah tetap akan menjalankan penagihan retribusi sesuai dengan Perda yang berlaku,” terang Aray.

Sedangkan, perwakilan pedagang, Ando Lobud, meminta Perda no 7 tahun 2017 perlu dikaji lagi karena pada pembuatan terindikasi adanya ketidakjelasan yang tidak melalui survei terkait pungutan retribusi.

“Kami menolak pemberlakuan Perda no 7 tahun 2017, dan meminta kepada pemerintah untuk segera memperpanjang ijin HGB. Kami menyarankan adanya kesepakatan antara para pemilik ruko dan toko dengan pemerintah untuk tidak melakukan pungutan/retribusi sebelum ijin HGB diperpanjang,” ucap Lobud.

Senada disampaikan Faruk, bahwa selama ini pedagang telah melaksanakan kebajiban dengan membayar retribusi. Namun saat ini ia meminta agar retribusi tersebut di pending sembari menunggu pemerintah memperpanjang HGB.

“Berdasarkan mekanisme dan regulasi yang ada, bahwa setelah HGB habis masa berlaku maka dapat diperpanjang. Sehingga atas dasar inilah kami menolak membayar retribusi sebelum adanya pembaruan HGB. Apabila tidak ada kesepakatan maka kami akan melakukan yudisial review untuk merevisi kembali Perda no 7 tahun 2018 karena jelas banyak bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi,” jelas Faruk.

*Abdyanto Mokodongan

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.