Alumni Pesantren Tebuireng Pecahkan 2 Kali Rekor MURI Dibidang Astronomi

Selama nyantri di Pondok Pesantren (Ponpes) Tebuireng ia tak terlalu suka ilmu falak. Di kepalanya, disiplin satu ini rumit, sarat hafalan, dan tentu saja mesti bisa baca kitab.

Beberapa tahun kemudian, dunia berbalik, ilmu yang ia “hindari” pada akhir tahun 80-an itu kini membawanya pada capaian dua kali rekor Musium Rekor Indonesia (MURI).

Dialah Hendro Setyanto yang kini aktif sebagai Sekretaris Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Jatuh cintanya kepada astronomi menguat ketika kuliah di Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung mulai 1993. Ia mengaku baru tahu astronomi identik dengan ilmu falak setelah beberapa tingkat menjalani masa kuliah.

“Dulu kalau waktu saya belajar di Aliyah di Tebuireng, kalau disebut belajar sains itu kesannya pelajaran dari luar. Kalau falak, wah itu kita,” katanya sembari tertawa ringan. Ia lantas melihat, selain perlu perbaikan sistem pembelajaran, ilmu falak yang sangat akrab di kalangan santri bisa menjadi pintu masuk bagi studi-studi sains lebih luas di pesantren, seperti dilansir dari nuonline.com, Senin (30/1).

Di kalangan umat Islam Tanah Air secara umum, ilmu falak cenderung cuma diarahkan untuk keperluan ibadah praktis, seperti melalui observasi hilal (rukyat), penentuan arah kiblat, atau kalender hijriah. Padahal, kata Hendro, ilmu falak juga menjangkau benda-benda langit yang lebih luas semacam komet, gugus bintang, atau galaksi.

Menurutnya, keunikan ilmu falak atau astronomi bisa dilihat dari karakteristiknya yang berbeda dari ilmu pengetahuan alam yang lain. Astronomi meniscayakan observasi dan fenomenanya tidak bisa direkayasa karena di luar kemampuan manusia. Ini berbeda dari biologi atau kimia yang bersifat eksperimental.

Dekatkan Astronomi ke Masyarakat

Pria kelahiran Semarang, 1 Oktober 1973 ini sempat aktif menjadi asisten riset lalu koordinator kunjungan publik di Observatorium Bosscha ITB. Hingga akhirnya ia keluar dan memilih mendirikan observatorium sendiri yang ia beri nama Imah Noong. Observatorium sederhana ini menjadi jembatan bagi para masyarakat umum atau astronom amatir dengan astronom professional.

Imah Noong yang berlokasi di Desa Wangunsari, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat itu juga menjadi tempat nyantri para mahasiswa atau siapa saja yang berminat dengan dunia astronomi. Mereka datang dari berbagai daerah atau kampus dan belajar astronomi dengan segenap peralatan yang tersedia.

“Mereka nyebutnya nyantri. Tapi saya kira disebut stay (singgah) sajalah. Saya tidak pantas jadi kiainya,” tuturnya merendah.

Tak jauh dari Ima Noong, kini Hendro sedang membangun Masjid Planetarium “An-Najm”. Masjid dengan kapasitas 30-40 orang ini didesain dengan kubah yang bisa digunakan untuk proses observasi langit. “Tidak besar. Mirip mushala. Ini mungkin menjadi masjid planetarium pertama di indonesia dan juga di dunia,” katanya.

Masjid yang sekarang masih dalam tahap pengerjaan kubah tersebut juga dimaksudkan untuk mendekatkan astronomi kepada masyarakat. Hendro ingin masjid tak sebatas tempat ibadah tapi juga wahana penelitian benda-benda langit.

Pecahkan Rekor MURI

Dari buah ketekunannya di bidang astronomi Hendro antara lain berhasil mendapatkan rekor dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) sebagai pengelola mobil observatorium keliling pertama di Indonesia pada 2009. Proyek inilah yang di kemudian hari berkembang menjadi NUMO (Nahdlatul Ulama Mobile Observatory) yang dalam bahasa Arab disebut al-marshadul falaki al-jauli.

Di bawah Lembaga Falakiyah PBNU, NUMO dirancang di sebuah mobil minibus dengan pintu atap geser. Kelengkapan interior mobil ini antara lain AC, radio tape, sound system, instalasi listrik, genset, lemari, dry cabinet, GPS, mounting, teropong, TV/layar monitor 32 inch, komputer, printer, koneksi internet, DVD player, LCD, theodolit, gawang lokasi, rubu’, tongkat istiwa’, dan globe.

Karya kedua yang dicatat pula oleh MURI adalah kacamata gerhana terbesar yang ia suguhkan pada peristiwa gerhana matahari total pada Maret 2016 lalu di Pantai Terentang, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Bangka Belitung.

Kacamata berukuran 9,6 meter x 60 sentimeter ini menjadi alat pengamatan massal bagi para pengunjung Pantai Terentang yang hendak menikmati fenomena gerhana saati itu. Kacamata raksasa dibuat dari bahan akrilik dengan filter sinar matahari pada sembilan lubangnya.

Terus Bereksperimen

Hendro mengaku masih terus mengembangkan instrumen astronomi. Pada 2010 lalu ia menemukan apa yang ia sebut Mizwala Qiblat Finder, alat ukur kiblat sederhana hasil modifikasi dan pengembangan dari sundial atau tongkat istiwa’.

“Kalau menggunakan alat sebelumnya kan butuh waktu 4-5 jam. Tapi kalau pakai ini (Mizwala Qiblat Finder), ada sinar matahari, cukup dua menit sudah bisa ketemu kiblatnya,” ujar pria yang dikarunia tiga anak ini. Ia bercerita, hingga saat ini alat tersebut masih dalam proses peresmian hak paten.

Hendro juga bercita-cita NU akan memiliki balai rukyat yang tersebar di berbagai daerah yang tak sebatas tempat merukyat hilal. Ia lebih suka menyebutnya observatorium, tempat pelatihan dan pengamatan sistematis tentang ilmu falak dan menarik banyak masyarakat untuk lebih akrab dengan dunia astronomi.

Ia menilai potensi ahli falak di NU luar biasa banyak. Bahkan, katanya, banyak dari mereka yang bukan dari latar belakang akademik formal astronomi mampu membuat perangkat lunak (software) dengan cukup canggih. Ia berharap suatu saat potensi ini bisa lebih terorganisasi dan mendukung kian majunya disiplin astronomi di lingkungan Pesantren dan  NU, “Terangnya” . nu/handoko p

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.