Ibu, Aku Ingin Sekolah

Ragam, Terkini126 Views

Oleh: Indah Tinumbia (Novelis Kursi Roda)

Tiga puluh tiga tahun lalu, di desa Tabang, Kotamobagu Selatan, Sulawesi Utara. Di dalam rumah sederhana, gadis bernama Indah dengan kondisi kurang sempurna. Jari jemari yang kaku dan kedua kakinya tak berfungsi sebagaimana mestinya. Ya, gadis tersebut adalah aku.

Beranjak kanak-kanak, apabila bocah seusianya sangat cerewet, aku justru tak dapat mengucapkan kata-kata. Sangat sulit berbicara, tapi paling tidak untuk memanggil ‘Mama’ aku bisa. Hingga usia sekolah, mulut, kaki dan jari jemarinya tak berfungsi dengan baik. Setiap pagi, kebiasaanku adalah, duduk di teras rumah menyaksikan anak-anak seusia denganku mengenakan seragam merah putih lengkap dengan topi, sepatu dan dasi menenteng tas berisi buku.

Melihatnya membuat hati ini merasa sedih, dan tak bisa membendung bulir bening yang ingin jatuhdi pipiku. Ingin sekali rasanya seperti mereka. Namun apalah daya, orang tua tidak memberiku izin untuk bersekolah.

“Ayo masuk! Kamu nggak mungkin bisa sekolah. Kamu nggak bisa jalan,” ketus ibunya. Sambil merangkak, aku pun masuk rumah. Lalu menangis sejadi-jadinya.

“Indah mau belajal,” jawabku dengan suara gagu dan sendu bagi yang mendengarnya.

“Kamu mau belajar? Belajar apa? Menulis? Membaca? Mana bisa kamu menulis? Tanganmu kaku begitu? Suaramu gagu, bagaimana kamu bisa membaca? Yang ada kamu dihina sama orang nanti!” kata ibugalak.

Jika saja ada orang lain yang mendengar ketajaman kata-kata ibu waktu itu, mungkin akan mengira beliau itu ibu yang kejam. Tapi sampai hari ini aku tidak pernah merasa demikian. Justru itu membuat diri ini makin terlatih untuk bisa menghadapi omongan orang di luar sana yang mungkin lebih menyakitkan.

Masih menangis, aku memandangi jari-jariku yang memang kaku.

“Sudah, kamu diam saja di rumah. Enggak usah sok ingin bisa! Kamu nggak akan bisa apa-apa dengan keadaanmu itu,” ucap Ibusebelum melangkah pergi.

***

Hari berganti minggu, bulan beranjak. Akhirnya aku menemukan ketertarikan tentang dunia literasi, dan bermimpi untuk bisa seperti anak yang lain. Yaitu, menulis dan membaca. Ketika ibu sedang tak berada di rumah, aku merangkak ke luar. Lalu memetik dedaunan apa saja yang dapat diraih dan dibawa masuk. Tidak lupa juga aku mengambil sebatang lidi dari sapu di rumahnya. Semuanya kujadikan daun-daun itu sebagai kertas dan lidi sebagai pena. Setelah itu aku terus mencoba menggoreskan tulang daun kelapa itu ke lembaran-lembaran hijau di hadapannya. Meski pun hasilnya tak berbentuk huruf atau gambar apa pun. Entah terinspirasi dari mana aku mendapatkan ide seperti itu. Mendadak lupa.

Saat ibu pulang aku langsung dapat omelan dansemua alat tulis-ku dibuang.

“Kamu hanya membuat sampah saja di rumah. Anak nggak berguna. Awas, ya! Kalau besok kamu buat kotor rumah lagi!”

Ya, wajar saja ibu marah. Ibu sudah capek-capek mengurus rumah dan kerja bantu bapak di kebun. Pulang rumah malah disambut rumah seperti kapal pecah.

Tapi tidak ada kata menyerah di dalam kamusku, tak peduli dengan omelan ibu. Setiap hari aku memetik daun dan mencari lidi untuk corat-coret di atasnya. Hingga akhirnya ibu menyadari bahwa anak ini benar-benar ingin belajar. Akhirnya ibu membelikankubuku tulis dan pensil yang sudah terasah. Tentu saja aku menerimanyadengan hati senang dan bibir tersenyum semringah.

Alhamdulillah, benar kata orang; sekeras apapun batu kalau tiap hari ditetes oleh air maka lama-lama bakal berlubang juga. Apalagi hati seorang ibu.Akhirnya perlahan aku menulis di lembaran kertas tanpa aturan. Karena itulah mungkin ibu jadi terbuka hatinya, hingga diajarkan membentuk huruf dan melafalkannya, meski dengan suara gagu.

Tetangga terdekat mulai memperhatikan dan memberi saran agar aku disekolahkan ke SLB terdekat saja. Tapi ibu ketakutan, sebab banyak berita-beritapencabulan oleh pengajar di sekolah anak disabilitas. Akhirnya bersikeras mengajariku di rumah.

Beranjak remaja. Aku sama sekali tak mengenyam pendidikan formal. Berbagai perasaan sedih, bahagia dan impian-impian kutulis di buku diary. Mulai dari keinginanku memiliki kursi roda dan menjadi penulis. Karena kupikir hanya itu satu-satunya pekerjaan yang bisadilakukan orang sepertiku. Namun, entah kenapa setelah kubaca sendiri, malah merasa malu kalau dibaca oleh orang lain, akhirnya kurobek-robek semua.

“Kenapa kamu robek tulisanmu?” tanya ibu.

Aku hanya diam dan membuang muka. Malu bilang jujur.

“Kamu nggak perlu malu, Sayang. Tulislah apa yang kamu mau…” Sang ibu membelai rambutku dengan lembut.

Usia makin mendewasa, aku menjadi gadis berjilbab yang terus berjuang menggoreskan pensilnya ke halaman buku diary yang tersisa. Hingga suatu hari kedatangan saudara sepupu perempuanku yang bekerja sebagai sekretaris pribadi seorang bupati di daerah Bolaang Mongondow Induk. Memberikan ponsel Blackberry dan mengusulkan ke departemen social agar aku mendapatkan bantuan kursi roda. Alhamdulilah Allah Maha. Aku bisa duduk dan berpindah tempat dan menulis dengan mudah dengan Smartphone. Walau masih sebagai draft, tak tahu harus bagaimana. Berkat bantuan teman,aku dikenalkan dengan media social Facebook.

Hingga aku bergabung di suatu grup kepenulisan Komunitas Menulis Online. Mulailah menulis apa saja yang ia bisa, tak peduli apa komentar yang didapatkan di sana.

Namun, menulis dengan Smartphone itu bukan tanpa hambatan. Karena selalu dipakai terus menerus, akhirnya blankjuga.

Sudah menulis banyak-banyak, tiba-tiba mati. Harus menuliskannya dari awal lagi. Setelah selesai menulis, tinggal klik mengirim, layar ponsel canggih itu kembali menunjukkan warna putih, lenyap lagi tulisannya. Tidak putus asa, aku ulangi menulis lagi, hingga akhirnya benar-benar mati. Bagai disambar petir, remuk redam perasaanku. Siapa pun pasti sedih, kalau satu-satunya alat yang sangat membantu menuliskan kata-kataitu rusak. Hilang sudah semua catatan di draft. Pasrah.

Hingga suatu hari, saudara sepupunya datang dan menanyakan.

“Kamu enggak nulis lagi di Facebook?”

Aku menunjukkan Blackberry yang mati.

“A… p… p… pe… a… lzlzlzl… u… sak.” Ratapku gagu.

“Oh, tenanglah, Kak. Aku punya HP. Tapi ini enggak canggih. Untuk sementara menghilangkan kejenuhanmu,” kata sepupu sambil menyodorkan ponsel Nokia 110 bekas.

Sedikit terobati kesedihan yang melanda hatiku. Namun harus bersusah payah menulis di ponsel yang betu-betul jadul itu. Hingga suatu hari ada seorang sahabat—Putri seorang penulis yang kukenal melalui jejaring sosial—mengirim pesan singkat.

Ndah, kamu masih punya tulisan tempo hari, nggak?

Masih. Tapi ke save di inbox FB, dan belum selesai ditulis juga. Emang kenapa, Put?

Ya udah, selesaiin dulu gih, kalo bisa dua minggu lagi, ya, kelarnya? Mau aku terbitin buku kamu. Semoga dengan ini kamu bisa ngumpulin uang dikit-dikit, ya?

Sejenak, aku tercenung.

Ya Allah, beneran, Put? Tapi, yang aku tahu, biaya penerbitannya nggak sedikit, kan? Lagian tulisanku masih berantakan, nulisnya di HP jadul pula.

Alhamdulillah, berkat doa kamu, aku dapat royalti yang lumayan banyak dari hasil jualan novelku. Pokoknya kalo soal editing, biaya, promo, sampe jualin serahin aku, kamu tinggal terima beresnya. Cuma satu yang aku minta, jangan kasih tau ke siapapun, ya?

Allah Maha Besar. Ternyata ada manusiayang berhati bidadari.

Allahuakbar! Kamu baik banget, Put. Padahal kita belum ketemu. Aku nggak tau mesti bilang apa sama kamu. Hanya Allah yang membalasnya. Makasih banyak, ya.

Kamu cukup doain aku aja, semoga aku cepet langsing. Haha. Kamu tau nggak, sekali pun ada orang yang bilang kamu nggak berguna dan pembawa sial, tapi kamu punya semangat, Ndah. Juga doa yang selalu diijabah sama Allah.

Allah Maha Besar. Akhirnya aku menulis dengan ponsel jadul. Apalah daya, ponsel kecil itu meski mampu menampung huruf hingga 5000 karakter, namun dengan layar yang teramat kecil. Tak ayal, aku memaksakan diri mengirimkannya sepotong-sepotong. Terkadang lewat inbox Facebook atau SMS dengan kata yang disingkat-singkat. Sangat berantakan. Tak peduli apakah karyaku itu diterima atau tidak. Tapi tiga judul berhasil dikirimkan.

Dua bulan kemudian, tepat di bulan kelahiranku, Putri mengabarkan kalau cerpen-cerpenku telah terbit. Terima kasih ya, Allah…

Allah Maha Besar. Mungkin ini adalah jawaban dari semua doa ibu, karena beberapa bulan kemudian Allah memberi begitu banyak nikmat keberkahan terhadapku. Hingga akhirnya dia dan ibundanya diundang oleh Walikota Kota Kotamobagu, Ir. Ibu Tatong Bara secara resmi untuk menerima hadiah kursi roda, laptop besar dan hape android.

Untuk pertama kali aku melihat ibu menangis terharu. Alhamdulillah aku berhasil membuat ibu bangga dan berdiri sebagai orangtua dari anak berkebutuhan khusus yang menerima hadiah karena berprestasi.

Sampai suatu hari, di bulan Oktober 2017. Aku diundang khusus oleh Komunitas Menulis Online Indonesia di acara Jumpa Penulis dan tampil sepanggung dengan penulis skala nasional di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Anak yang selama ini dianggap tidak berguna dan hanya membuat beban, ternyata mampu mengajak ibunya naik pesawat serta menginjak Kota Jakarta untuk pertama kalinya. Tak ada alasan bagi siapapun untuk berhenti berusaha menggapai cita-cita. Bukan halangan dengan keadaan fisik yang tak sempurna untuk terus untuk bermimpi dan berkarya.

Karena mimpi adalah milik mereka yang berani mewujudkannya…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.