inatonreport.com – Sebuah pernyataan mengagetkan keluar dari mulut seorang hakim kenamaan Indonesia, Daming Sunusi. Dalam sidang fit and proper test yang dilakukan pada bulan Januari 2013 itu, Daming menyatakan bahwa pelaku pemerkosaan tidak perlu dihukum mati karena pelaku dan korban sama-sama menikmati tindakan tersebut.
Akibat pernyataannya itulah, nama Daming mencuat dan menuai banyak hujatan dari masyarakatan. Pernyataan pria kelahiran Bulukumba ini dianggap insensitif, mendorong tindak pemerkosaan dan peringanan hukuman terhadap pelaku pemerkosaan di bawah payung alasan, “Kalau memang nggak menikmati, kenapa kok bisa sampai orgasme?”
Consent (persetujuan), sebuah kata kunci
Hubungan seksual merupakan suatu hubungan yang semestinya dilakukan berdasarkan cinta. Tapi, cinta saja rupanya tak cukup karena hubungan sakral tersebut haruslah dilakukan dengan consent. Consent, menurut Rape, Abuse and Incest National Network atau RAINN, adalah “persetujuan antara mereka yang terlibat dalam aktivitas seksual”. Sudah jelas bahwa consent melibatkan persetujuan dua belah pihak, bukan hanya sepihak saja.
Sekalipun suami-istri yang telah sah secara hukum negara dan agama, consent adalah hal yang semestinya dijunjung tinggi. Karena tanpa consent, hubungan seksual hanyalah ampas pemaksaan dan kesakitan, secara psikis dan fisik.
“Katanya gak menikmati, kenapa kok bisa sampai orgasme?”
Bukan hanya Daming Sunusi saja yang beranggapan bahwa pelaporan tindak pemerkosaan itu meragukan jika kedua orang yang terlibat di dalamnya mengalami orgasme. Masih banyak orang yang berpendapat secara naif bahwa yang namanya pemerkosaan itu “seharusnya” tidak disertai orgasme karena orgasme diasosiasikan sebagai bentuk perwujudan persetujuan dan kenikmatan secara fisik maupun mental.
Jenny Morber dalam artikel yang dimuat di Popular Science menuliskan bahwa pemerkosaan tidak selalu dilakukan dengan kekerasan. Beberapa survivor “menyerahkan” dirinya pada pelaku untuk melindungi dirinya sendiri atau orang yang mereka cintai (mengorbankan diri demi anak, misalnya). Pada banyak kasus, pemerkosaan terjadi saat korban dalam posisi tak berdaya, misalnya dalam pengaruh obat-obatan, minuman keras atau lemah secara mental.
Sebuah laporan medis di tahun 2004 menyebutkan bahwa sekitar lima persen korban pemerkosaan mengalami lubrikasi dan orgasme. Ya, mereka mengalami kepuasan seksual saat diperkosa. Bahkan, secara anonymous banyak korban pemerkosaan yang mengaku mereka mengalami multiple orgasm dan hal ini sangat mengganggu mereka seumur hidup.
Orgasme, reaksi biologis tubuh manusia terhadap rangsangan seksual
Dalam tulisannya, Morber menerangkan bahwa kepuasan seksual muncul sebagai reaksi biologis tubuh manusia. Sama seperti saat kita merasa ketakutan, tanpa bisa dikontrol tubuh kita merasa merinding. Tubuh punya caranya sendiri merespon sesuatu, tanpa bisa dikendalikan.
Orgasme yang terjadi pada kasus pemerkosaan bukanlah ekspresi kepuasan sang korban. Bukan pula tanda bahwa korban menikmati dan bukanlah hal yang diinginkan oleh sang korban, melainkan murni respon tubuh secara biologis menanggapi rangsangan dan stimulasi. Layaknya kita bersin saat debu masuk ke hidung, mengeluarkan keringat saat udara panas atau kegelian saat dikelitik. Sesuatu yang tak bisa dikendalikan.
Kepuasan seksual terjadi dalam dua kondisi, yaitu kondisi kejiwaan dan kondisi fisik. Pada hubungan seksual yang dilakukan dengan kesadaran dan consent penuh, kepuasan terjadi pada kedua kondisi tersebut. Namun, pada kasus pemerkosaan, korban hanya mengalami kepuasan seksual secara fisik. Para korban merasa bergairah secara fisik, tetapi tidak secara mental bahkan mungkin merasa jijik.
Lubrikasi, bentuk ‘perlindungan’ diri
Rangsangan tubuh, secara seksual, menghasilkan lubrikasi pada area genital. Lubrikasi ini pun dialami oleh korban pemerkosaan karena hal ini merupakan respon fisik. Murni respon fisik yang tak bisa dikendalikan dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan consent yang saya sebut di atas. Namun, lubrikasi pada alat kelamin ini tidak dapat serta-merta diasosiasikan dengan kenikmatan, melainkan sebagai bentuk perwujudan perlindungan.
Sederhananya, tubuh manusia mencoba untuk melindungi dan menjaga dari kemungkinan rasa sakit yang terjadi akibat pemaksaan.
Melihat kenikmatan seksual yang dirasakan korban pemerkosaan sebagai hal yang relevan dengan consent, menurut saya, adalah hal yang sangat dangkal. Apalagi jika hal ini dijadikan ‘pembenaran’ dan pemakluman terhadap pelaku pemerkosaan untuk bisa lepas dari jeratan hukum dan tanggungjawab moralnya.
Seperti yang dijelaskan di atas, kenikmatan seksual secara fisik saja tetapi secara mental menolaknya, tak bisa dikatakan kepuasan yang utuh. Layaknya hubungan seksual suami-istri yang dilakukan berlandaskan cinta dan consent.
Ada banyak perspektif soal kasus pemerkosaan yang harus kita sadari dan kita luruskan. Pemerkosaan tidak selalu dengan kekerasan. Korban pemerkosaan tak selalu perempuan, ada juga laki-laki yang menjadi korbannya. Pelaku pemerkosaan pun bisa saja perempuan. Pemerkosaan tak selalu terjadi karena pakaian atau gestur tubuh yang mengundang.
Sudah saatnya kita memilah-milah pandangan kita dan tidak naif menjatuhkan penghakiman pada mereka yang mengalaminya.
sumber: vemale.com