Miris! Bayi Hidrosefalus yang Tinggal di Rumah Berdinding Koran, Tergolek Tanpa Perawatan Medis

Nasional, Terkini126 Views

ISTILAH “orang miskin dilarang sakit” bisa dikatakan benar adanya. Nasib yang menimpa Haisa, seorang bayi perempuan berusia 3 bulan yang menderita penyakit pembesaran kepala (hidrosefalus) sejak lahir yang kini terus membesar.

Ironisnya, selain menderita penyakit tersebut, Haisa dan kedua orangtuanya terpaksa tinggal di rumah panggung berdinding koran dan terpal plastik di Pulau Tangnga (Salama), Kelurahan Amassangan, Kecamatan Binuang, Polman, Sulawesi Barat, tak mampu berobat ke rumah sakit.

Kedua orangtuanya, Sahar dan Nursia yang berprofesi sebagai nelayan tradisional dan ibu rumah tangga ini mengaku tak mampu membawa anaknya ke rumah sakit karena alasan tak punya biaya, seperti dilansir dari laman kompas.com, Rabu (12/4).

Rumah milik Sahar dan Nursia terletak di Pulau Tangnga (Salama), Kelurahan Amassangan, Kecamatan Binuang, Polewali Mandar. Untuk menjangkau rumahnya, sejumlah jurnalis yang mendatangi rumahnya Selasa (11/4) kemarin harus menumpang perahu tradisional yang akrab disebut warga dengan sebutan “taksi”.

Tiba di rumah panggung berukuran 4×5 meter ini, rombonga jurnalis mendapati Haisa kecil sedang diayun ibunya. Haisa sendiri diketahui mengidap penyakit pembesaran kepala sejak seminggu setelah dilahirkan.

Meski usianya baru memasuki tiga bulan, namun kondisi kepalanya terus membesar. Sementara badannya tampak kurus kering.

Kepada wartawan yang mengunjunginya, Nursia menuturkan, bayinya lahir prematur melalui operasi caesar di RSUD Polman. Karena lahir prematur, bayinya harus menjalani perawatan di mesin inkubator.

Dengan modal kartu layanan BPJS, persalinan Nursia pun tak ada kendala. Sejak menjalani perawatan di rumah sakit itulah, perawat dan dokter mengetahui bahwa bayi Haisa mengalami penyakit hidrosefalus.

Tak punya biaya

Dokter meyarankan Haisa agar segera dirujuk ke Makassar untuk menjalani operasi, namun ketua orangtuanya menolak karena alasan tidak mempunyai biaya. Biaya operasi mungkin ditanggung BPJS, namun biaya hidup keluarga di rumah sakit, apalagi tidak punya sanak famili di Makasar, diakui Sahar dan Nursia bukanlah biaya ringan bagi dirinya yang hanya berprofesi sebagai nelayan tradisonal dan ibu rumah tangga.

“Kami sendiri yang meminta keluar dari RSUD. Mungkin kalau biaya pengobatan anak saya masih ditanggung oleh BPJS, tapi untuk biaya hidup dan nginap keluarga selama di Makassar kami tidak punya,” kata Sahar diamini Nursia.

Bayi Haisa merupakan anak ke empat dari pasangan Sahar dan Nursia. Kedua orangtuanya tergolong kurang mampu. Sahari hanya seorang nelayan tradisional yang pendapatannya tak menentu, tergantung cuaca laut. Sementara istrinya, Nursia hanya ibu rumah tangga biasa.

Mereka tinggal di sebuah rumah sederhana berukuran 4×5 meter. Rumah ini berdiri di atas lahan milik orang lain. Sebagian dinding rumahnya terbuat dari koran bekas dan terpal plastik. Sementara lantainya dibuat dari bilah bambu

Di rumah tanpa sekat kamar-kamar inilah keluarga Sahar bersama empat anaknya tinggal satu rumah. Menurut pengakuan Nursia, saat masa kehamilannya, ia tak merasakan kelainan. Ia juga rutin memeriksakan kondisi kehamilannya ke Posyandu.

Namun, ia sudah tidak pernah lagi memeriksakan kesehatan bayinya sejak keluar dari RSUD. Haisa hanya kerap diperiksakan kepada bidan yang berkunjung ke rumahnya.

“Sering ji bidan datang periksa, tapi tidak pernah saya bawa ke rumah sakit lagi,” terang Nursia.

Kedua orangtua Haisa berharap ada uluran tangan dari pemerintah atau dermawan yang bersimpati demi kesembuhan anaknya.

“Kalau anak kami dirujuk ke Makassar, pastinya kami juga butuh biaya hidup selama di Makassar. Itu mi yang kami tidak punya biaya, Pak, makanya kami hanya pasrah melihat kondisi bayi kami yang kepalanya terus membesar,” tutur Sahar. (her)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.