INDONESIAN Corruption Watch (ICW) merilis temuan-temuan mengenai kasus korupsi di Indonesia selama tahun 2016, di kantornya di kawasan Kalibata, Jakarta, Minggu (19/1). Dalam temuan tersebut ICW menemukan bahwa 41 persen korupsi terjadi pada pengadaan barang dan jasa (PBJ).
Berdasarkan temuan ICW, dalam sektor pengadaan terdapat 195 kasus dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 680 miliar dan nilai suap sebanyak Rp 23,2 miliar. Sedangkan non-pengadaan ada 287 kasus dengan nilai kerugian negara menca pai Rp 769 miliar dan nilai suap Rp 7,8 miliar.
Wana Alamsyah, Staff Koordinator ICW, menyimpulkan sekitar 41 persen korupsi terjadi pada proses pengadaan barang dan jasa (PBJ). Meskipun sudah dilakukan pengadaan secara online.
“Namun celah korupsi masih dapat terjadi dalam penyusunan HPS yang di mark up atau adanya benturan kepentingan dalam PBJ seperti pada kasus korupsi yang dilakukan oleh Walikota Madiun, Bambang Irianto dan Bupati Nganjuk, Taufiqurrahman,” terangnya.
Wana juga mencontohkan, kalau seorang kepala daerah, misalnya, tidak boleh terlibat dalam PBJ. Hal itu lantaran harus ada keadilan di dalamnya.
“Seorang Kepala Desa juga dilarang ikut terlibat dalam pengadaan, karena harus ada keadilan di dalam situ. Kalau kepala daerah ikut berarti tidak ada keadilan, meski perusahaannya memenuhi syarat secara administrasi,” jelasnya.
ICW juga menemukan aktor yang kerap ditetapkan sebagai tersangka, antara lain Aparatur Sipil Negara (ASN)/Pegawai Negeri Sipil (PNS), swasta, masyarakat, kepala desa, ketua/anggota DPR.
“Sekitar 47 persen aktor korupsi adalah ASN/PNS. Disusul swasta, di mana sebagian besar mereka terlibat dalam manipulasi tender dan penyuapan. Sementara masyarakat dan kepala desa menjadi aktor ketiga yang paling banyak melakukan tindak pidana korupsi,” ungkap Wana.
“Berdasarkan temuan ini, nampaknya birokrasi kita masih banyak melakukan korupsi,” tambah Koordinator Investigasi ICW, Febri Hendri.Indonesian Corruption Watch (ICW) merilis temuan-temuan mengenai kasus korupsi di Indonesia selama tahun 2016, di kantornya di kawasan Kalibata, Jakarta, Minggu (19/1). Dalam temuan tersebut ICW menemukan bahwa 41 persen korupsi terjadi pada pengadaan barang dan jasa (PBJ).
Berdasarkan temuan ICW, dalam sektor pengadaan terdapat 195 kasus dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 680 miliar dan nilai suap sebanyak Rp 23,2 miliar. Sedangkan non-pengadaan ada 287 kasus dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 769 miliar dan nilai suap Rp 7,8 miliar.
Wana Alamsyah, Staff Koordinator ICW, menyimpulkan sekitar 41 persen korupsi terjadi pada proses pengadaan barang dan jasa (PBJ). Meskipun sudah dilakukan pengadaan secara online.
“Namun celah korupsi masih dapat terjadi dalam penyusunan HPS yang di mark up atau adanya benturan kepentingan dalam PBJ seperti pada kasus korupsi yang dilakukan oleh Walikota Madiun, Bambang Irianto dan Bupati Nganjuk, Taufiqurrahman,” terangnya.
Wana juga mencontohkan, kalau seorang kepala daerah, misalnya, tidak boleh terlibat dalam PBJ. Hal itu lantaran harus ada keadilan di dalamnya.
“Seorang Kepala Desa juga dilarang ikut terlibat dalam pengadaan, karena harus ada keadilan di dalam situ. Kalau kepala daerah ikut berarti tidak ada keadilan, meski perusahaannya memenuhi syarat secara administrasi,” jelasnya.
ICW juga menemukan aktor yang kerap ditetapkan sebagai tersangka, antara lain Aparatur Sipil Negara (ASN)/Pegawai Negeri Sipil (PNS), swasta, masyarakat, kepala desa, ketua/anggota DPR.
“Sekitar 47 persen aktor korupsi adalah ASN/PNS. Disusul swasta, di mana sebagian besar mereka terlibat dalam manipulasi tender dan penyuapan. Sementara masyarakat dan kepala desa menjadi aktor ketiga yang paling banyak melakukan tindak pidana korupsi,” ungkap Wana.
“Berdasarkan temuan ini, nampaknya birokrasi kita masih banyak melakukan korupsi,” tambah Koordinator Investigasi ICW, Febri Hendri.
Sumber: merdeka.com