Oleh: H. Setiawan
(Jurnalis)
Kisah cinta ini merupakan kisah nyata dari sorang sahabat saya.
DALAM urusan cinta, adakalanya hati dan logika tak pernah sejalan, bahkan selalu tak selajan. Maunya hati begini, tapi logika begitu ditambah dengan ucapan yang tak sejalan dengan hati dan logika, jugapun sebaliknya.
Bagaikan dua sisi mata uang, saling berbalikan. Yang sebenarnya jika kedua hal ini bisa sejalan beriringan, maka takkan pernah ada yang namanya konflik batin. Sebuah konflik yang tak terlihat secara kasat mata, namun efeknya seperti merasakan kiamat. Sebuah permasalahan klasik dalam dunia asmara.
Ada yang sering mengatakan, cintailah orang yang mencintai kamu. Sah-sah saja jika diiyakan ketika mengandalkan logika, namun ujung-ujungnya hati yang akan menolak dan menjadi beban batin.
Ada juga terjadi sebaliknya, kejarlah orang yang kau cintai, itupun sah-sah saja, tapi jika dia menerima kita dengan terpaksa (tidak mencintai kita), maka sama saja akan terjadi konflik batin baginya. Kalau bahasa populernya adalah Cinta Bertepuk Sebelah Tangan. Sekuat apapun menepuk, tetap takkan bertemu tangan yang satunya.
Yang lebih lucu, ada yang sama-sama saling suka, namun karena ego dan gengsi, tak satupun dari mereka berani mengungkapkan perasaan. Bahkan yang lebih menyedihkan, keduanya tak memiliki perasaan satu sama lain, namun memaksakan untuk bersama karena alasan tertentu. Memang diperlukan sikap tegas untuk mengambil pilihan hidup. Siapa yang tak Ingin bahagia dan tenang dunia akherat?
Saya pernah mendengar curhatan dari salah seorang sahabat terbaik saya. Dia menceritakan tentang hubungan yang dijalin bersama sang kekasih yang awalnya dinilai baik-baik saja. Bahkan, ia sangat yakin bahwa kekasihnya mencintainya setuluh hati, dia berpatokan dari gerak tubuh dan ucapan kekasihnya yang sangat meyakinkan bahwa hanya dia satu-satunya sosok yang dicintainya.
Maka, berkorban untuk sang kekasih adalah hal wajib yang harus dilakukannya, bahkan berkorban untuk hal-hal yang tak masuk akal sekalipun. Hayalan yang luar biasa indah bersama kekasihnya sudah tertanam kuat didalam otaknya.
Seiring berjalannya waktu, kejanggalan mulai terasa dan kenyataanpun terungkap. Entah itu benar dari hati sang kekasih, atau hanya ucapan belaka yang tak sesuai dengan hati. Namun, dengan tegas kekasihnya mengatakan, “Maaf, sebenarnya saya hanya menganggap kamu teman, lebihpun hanya sebagai saudara.”
Kata-kata yang menyakitkan dan terdengan begitu kejam terucap setelah sekian lama bersama. Seperti cerita FTV di tv swasta, namun bedanya, kisah ini lebih alami tanpa didramatisir untuk menaikkan ratting.
Ya, tentunya sakitnya luar biasa. Merasa dipermainkan, ya pasti. Merasa dibohongi, apalagi!. Namun, ungkapan sahabat saya yang terakhir kepada saya, bahwa dirinya bahagia karena bisa memberikan hal terbaik kepada kekasihnya, meski rasa kecewa menggerogoti karena hatinya menolak kenyataan yang sesuai dengan logika yang ada. Dia marah, namun tak bisa membenci. Hanya pelampiasan perasaan yang ia ucapkan kepada sang kekasih sebagai kata-kata perhatian terakhir, “terimakasih atas waktu yang sudah kita lalui bersama, kalau ada apa-apa hubungi aku”. Pernyataan pasrah bercampur putus asa.
Sayapun merasa, ini adalah kata-kata tertulus yang diucapkannya. Sembari mengelus dada, saya menyodorkan sebungkus rokok serta segelas kopi, dengan harapan bisa mengurangi derita batin yang dirasakannya.
Saya jadi ingat beberapa judul lagu yang cocok dengan kisah ini, yakni lagu dari Last Child – Tak Ternilai, Ungu – Dilema Cinta, D’Masiv – Apa Salahku, dan Bondan Prakoso – Not With Me. Buat yang penasaran silahkan simak lagunya dan rasakan sensasinya. Hehehe.
Memang sakit rasanya berkorban untuk orang yang kita cintai namun orang tersebut tak mencintai kita. Tapi tak ada yang salah dengan hal itu. Itulah namanya pengorbanan, tidak mengharap balasan dan pengakuan apabila tulus melakukannya. Menderita memang, tapi itulah pilihan yang dipilih sahabat saya.
Sahabat saya ingin kekasihnya tau, tapi kekasihnya tidak perlu tau. Kalau menurut asumsi saya “Dia harus tau, tapi dia tidak boleh tau,”. Bahasa hati yang sangat dalam.
Hayalan tak seindah kenyataan. Ada yang mengatakan, kita hidup bukan untuk hayalan tapi kenyataan. Karena yang kita hadapi adalah kenyataan bukan hayalan.
Mudah-mudahan ada hikmah dibalik kisah ini untuk pembaca.
inatonreport membuka ruang bagi anda yang ingin mengirim puisi, cerita, opini, dan tulisan lainnya, dengan catatan tidak mengandung unsur pornografi, sara, rasis serta provokasi. Redaksi berhak menyunting tanpa mengubah maksud dan tujuan tulisan.
Tulisan bisa di kirim ke alamat email kami, inatonreport@gmail.com atau via facebook: markas inaton